I. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kemajuan pusat pengetahuan dan teknologi yang semula berjalan diatas rel kesejahteraan dan kepentingan umat manusia, namun belakangan justru terbalik menyengsarakan karena memperalat manusia. Mengapa hal ini bisa terjadi ? ada beberap alasan : pertama, alasan historis, dosa – kalau boleh dikatakan demikian, anak-anak reneisance yang memisahkan antara aktivitas ilmiah dengan nilai-nilai keagamaam dimasa lalu menjadikan ilmu bergerak tanpa kendali dan kering dari rambu-rambu normatif. Alasan kedua, alasan normatif, orientasi akademik mengalami pergeseran dari wilayah keilmuwan tak segan-segan melanggar kode etik ilmiah.
Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal menangkap kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut menunjukkan tingkat kebenaran yang berbeda. Pengetahuan inderawi merupakan struktur terendah dalam struktur tersebut. Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Tingkat yang lebih rendah menangkap kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada umumnya kabur, khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab itulah pengetahuan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi.
Pada tingkat pengetahuan rasional-ilmiah, manusia melakukan penataan pengetahuannya agar terstruktur dengan jelas.Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan). Jadi ada 2 pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran) . Dalam bahasan ini, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan (Wilardo, 1985:238-239).
Pada tingkat pengetahuan rasional-ilmiah, manusia melakukan penataan pengetahuannya agar terstruktur dengan jelas.Plato pernah berkata: “Apakah kebenaran itu? lalu pada waktu yang tak bersamaan, bahkan jauh belakangan Bradley menjawab; “Kebenaran itu adalah kenyataan”, tetapi bukanlah kenyataan (dos sollen) itu tidak selalu yang seharusnya (dos sein) terjadi. Kenyataan yang terjadi bisa saja berbentuk ketidakbenaran (keburukan). Jadi ada 2 pengertian kebenaran, yaitu kebenaran yang berarti nyata-nyata terjadi di satu pihak, dan kebenaran dalam arti lawan dari keburukan (ketidakbenaran) . Dalam bahasan ini, makna “kebenaran” dibatasi pada kekhususan makna “kebenaran keilmuan (ilmiah)”. Kebenaran ini mutlak dan tidak sama atau pun langgeng, melainkan bersifat nisbi (relatif), sementara (tentatif) dan hanya merupakan pendekatan (Wilardo, 1985:238-239).
Adapun obyek telaah filsafat setidaknya ada 2 persi menurut Prof. Dr.H. Noeng Muhadjir yaitu Subtantif (Fakta dan kebenaran) dan instrumentatif (Uji konfirmasi dan logika inferensia)
Fakta (Kenyataan)
Fakta adalah pengamatan yang telah diverifikasi secara empiris. Fakta dalam prosesnya kadangkala dapat menjadi sebuah ilmu namun juga sebaliknya. Fakta tidak akan dapat menjadi sebuah ilmu manakala dihasilkan secara random saja. Namun bila dikumpulkan secara sistematis dengan beberapa system serta dilakukan secara sekuensial, maka fakta tersebut mampu melahirkan sebuah ilmu. Fakta atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam, bergantung dari sudut pandang filosofis yang melandasinya.
a. Positivisme:
- ia hanya mengakui penghayatan yang empiric.
- Sesuatu sebagai fakta apabila ada korespondensi antara yang sensual satu dengan yang sensual lainnya.
- Data empiric sensual tersebut harus obyektif tidak boleh masuk subyektifitas peneliti
- Fakta itu yang aktual ada
b. Penomenologi Fakta bukan sekedar data empiric sensual, tetapi data yang sudah dimaknai atau diinterpretasikan, sehingga ada subyektifitas peneliti. Tetapi subyektifitas disini tidak berarti sesuai selera peneliti, subyektifitas disini dalam arti tetap slektif sejak dari pengumpulan data, analisis sampai pada kesimpulan. Data selektifnya mungkin berupa ide, moral dan lain-lain.
- Orang mengamati terkait langsung dengan perhatiannya dan juga terkait pada konsep-konsep yang dimilki.
- Kenyataan itu terkonstruk dalam moral
c. Realisme
- Metafisik sesuatu sebagai nyata apabila ada koherensi antara empiri dengan obyektif universal.
- Yang nyata itu yang riil exsist dan terkonstruk dalam kebenaran obyektif.
- Empiri bukan sekedar empiri sensual yang mungkin palsu, yang mungkin memilki makna lebih dalam yang beragam.
- Empiri dalam realism memang mengenai hal yang riil dan memang secara subtantif ada.
- Dalam realisme metafisik skema rasional dan paradigm rasional penting.
- Empiri yang substantif nyata baru dinyatakan ada apabila ada koherensi yang obyektif universal
d. Pragmatis
- yang ada itu berfungsi, sehingga sesuatu itu dianggap ada apabila berfungsi.
- Sesuatu yang tidak berfungsi keberadaannya dianggap tidak ada.
e. Rasionalistik
- Yang Nyata ada itu yang nyata ada, cocok dengan akal dan dapat dibuktikan secara rasional atas keberadaannya.
Disisi lain Loren Bagus (1996) memberikan penjelasan tentang fakta obyektif dan fakta ilmiah. Fakta obyektif yaitu peristiwa, fenomena atau bagian realitas yang merupakan obyek kegiatan atau pengetahuan praktis manusia. Sedangkan fakta ilmiah merupakan refleksi terhadap fakta obyektif dalam kesadaran manusia. Yang dimaksud refleksi adalah deskripsi fakta obyektif dalam bahasa tertentu. Fakta ilmiah merupakan dasar bagi bangunan teoritis, tanpa fakta-fakta ini bangunan teoritis itu mustahil. Fakta ilmiah tidak terpisahkan dari bahasa yang diungkapkan dalam istilah-istilah dan kumpulan fakta ilmiah membentuk suatu deskripsi ilmiah.
1. Kebenaran (truth)
Sesungguhnya terdapat berbagai teori tentang rumusan kebenaran. Namun secara tradisional kita mengenal 3 teori kebenaran yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatik (Jujun S. Suriasumantri, 1982), sementara Michel William mengenalkan 5 teori kebenaran yaitu kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi, kebenaran permorfatif, kebenaran pragmati dan kebenaran proposisi. Bahkan Noeng Muhadjir menambahkan satu teori lagi yaitu kebenaran struktur paradigmatik. (Ismaun; 2001)
a. Kebenaran Korespondensi
"Kebenaran/keadaan benar itu berupa kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh sebuah pendapat dengan apa yang sungguh merupakan halnya/faktanya"
Menurut teori ini dinyatakan bahwa, kebenaran atau keadaan benar itu berupa kesesuaian [correspondence] antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan dengan apa yang sungguh-sungguh terjadi merupakan kenyataan atau faktanya.
Jadi berdasarkan teori korespondensi ini, kebenaran/keadaan benar itu dapat dinilai dengan membandingkan antara preposisi dengan fakta atau kenyataan yang berhubungan dengan preposisi tersebut. Bila diantara keduanya terdapat kesesuaian (korespondence), maka preposisi tersebut dapat dikatakan memenuhi standar kebenaran/keadaan benar
Contoh : " Makassar adalah Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan sekarang” ini adalah sebuah pernyataan, dan apabila kenyataannya memang Makassar adalah Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan, maka pernyataan itu adalah suatu kebenaran.
Rumusan teori korespondensi tentang kebenaran itu bermula dari
ARIESTOTELES, (384-322 SM) dan disebut teori penggambaran yang definisinya berbunyi sebagai berikut :
“VERITAS EST ADAEQUATIO INTELCTUS ET RHEI”
[kebenaran adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan].
Teori ini selanjutnya dikembangkan oleh Bertrand Russel (1872-1970).
Teori korespondensi dijadikan dasar dalam pengembangan ilmu-ilmu empiris. Ilmu-ilmu empiris memperoleh bahan-bahannya melalui pengalaman. Tetapi pengalaman atau empiria ilmuah sesungguhnya lebih dari sekedar pengalaman sehari-hari serta hasil tangkapan inderawi, cara ilmiah untuk menangkap sesuatu harus dipelajari terlebih dahulu dan untuk sebagian besar tergantung pada pada pendidikan ilmiah yang harus ditempuh oleh peneliti (Beerling at al, 1996:53)
b. Kebenaran Koherensi
Menurut teori ini, kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan (judgement) dengan sesuatu yang lalu, yakni fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri.
Berdasarkan teori ini, kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang baru dengan putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan diakui benarnya terlebih dahulu. Jadi suatu proposisi itu cenderung untuk benar jika proposisi itu coherent [saling berhubungan] dengan proposisi yang benar, atau jika arti yang terkandung oleh proposisi tersebut koheren dengan pengalaman kita.
Contoh : Bungkarno, adalah ayahanda Megawati Sukarno Puteri, adalah
pernyataan yang kita ketahui, kita terima, dan kita anggap benar. Jika terdapat penyataan yang koheren dengan pernyataan tersebut diatas, maka pernyataan ini dapat dinyatakan Benar. Kerena koheren dengan pernyataan yang dahulu: Misalnya.
- Bungkarno memiliki anak bernama Megawati Sukarno Putri
- Anak-anak Bungkarno ada yang bernama Megawati Sukarno Putri
- Anak-anak Bungkarno ada yang bernama Megawati Sukarno Putri
- Megawati Sukarno Putri adalah keturunan Bungkarno
Matematika adalah bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan dengan pembuktian berdasarkan teori koherensi. Plato (427-347 SM) dan aristoteles (384-322) telah mengembangkan teori koherensi berdasarkan pola pemikiran yang digunakan Euclid dalam menyusun ilmu ukurnya (Jujun. S., 2005).
Teori koherensi menjadi dasar dalam pengembangan ilmu deduktif atau matematik. Nama ilmu deduktif diberikan karena dalam menyelesaikan suatu masalah atau membuktikan suatu kebenaran tidak didasarkan pada pengalaman atau hal-hal yang bersifat factual, melainkan didasarkan atas deduksi-deduksi atau penjabaran.
c. Kebenaran Performatif
Ketika pemikiran manusia menyatukkan segalanya dalam tampilan actual dan menyatukan apapun yang ada dibaliknya, baik yang praktis yang teoritik, maupun yang filosofik, orang mengetengahkan kebenaran tampilan aktual. Sesuatu benar bila memang dapat diaktualkan dalam tindakan.
Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukan oleh pemegang otoritas tertentu.
Contohnya mengenai penetapan 1 Syawal, sebagian muslim di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu. Contoh kedua misalnya ketika rezim orde baru, PKI adalah partai terlarang dan semua hal yang berhubungan atau memilki atribut PKI tidak berhak hidup di Indonesia. Contoh lainnya pada masa pertumbuhan ilmu, Copernicus (1473-1543) mengajukan teori heliosentris dan bukan sebaliknya seperti yang difatwakan gereja, masyarakat menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang diputuskan gereja walaupun bertentangan dengan bukti-bukti empiris.
Dalam fase hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran performatif. Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bias pemerintah, pemimpin agama, pemimpin adat, pemimpin masyarakat dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat membawa kepada kehidupan
social yang rukun, kehidupan beragama yang tertib, adat yang tertib dan sebagainya.
Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan rasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada adat, kebenaran ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk mencara kebenaran.
d. Kebenaran pragmatik
Menurut kebenaran pragmatik yang benar adalah yang konkret, yang individual dan spesifik dan memilki kegunaan praktis.
Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.
Menurut teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku atau memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis, batu ujian kebenaran adalah kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability) dan akibat atau pengaruhnya yang memuaskan. Teori ini tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak
Pencetus teori pragmatisme adalah Charles S. Peirce (1839-1914). Pernyataan bahwa motivasi merupakan factor yang sangat penting untuk meningkatkan prestasi belajar anak dapat dianggap benar bila pernyataan tersebut mempunyai kegunaan praktis yaitu bahwa prestasi belajar anak dapat ditingkatkan melalui pengembangan motivasi belajarnya. Teori pragmatis dijadikan dasar dalam pengembangan ilmu terapan.
e. Kebenaran Proposisi
Proposisi adalah suatu pernyataan yang berisi banyak konsep kompleks yang merentang dari yang subyektif, individual sampai obyektif. Suatu kebenaran dapat diperoleh bila proposisi-proposisinya benar.
Dalam logika Aristoteles proposisi benar adalah bila sesuai dengan persyaratan formal suatu proposisi. Pendapat lain yaitu dari Euclides, bahwa proposisi benar tidak dilihat dari benar formalnya melainkan dilihat benar materialnya.
f. Kebenaran struktural paradigmatic
Suatu teori dinyatakann benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau
perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigm tersebut. Banyak sejarawan dan filosof sains masa kini menekankan
bahwa serangkaian fenomena atau realitas yang dipilih untuk dipelajari oleh kelompok ilmiah tertentu ditentukan oleh pandangan tertentu realitas yang telah diterima secara apriori oleh kelompok tersebut.
Pandangan apriori ini disebut paradigm oleh Kuhn dan World view oleh Sardar. Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains atau dengan kata lain masyarakat sains adalah orang-orang yang memilki suatu paradigma bersama.
Masyarakat sains bias mencapai consensus yang kokoh karena adanya paradigma. Sebagai konstelasi kelompok, paradigm merupakan nilai-nilai bersama yang bias menjadi determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak semua anggota kelompok menerapkan dengan cara yang sama. Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman individual dalam penerapan nilai-nilai bersama yang bisa melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan. Paradigma berfungsi sebagai keputusan yuridiktif yang diterima dalam hokum tak tertulis.
Pengujian suatu paradigma terjadi setelah adanya kegagalan berlarut-larut dalam memecahkan masalah yang menimbulkan krisis. Pengujian ini adalah bagian dari kompetisi di antara dua paradigm yang bersaingan dalam memperebutkan kesetiaan masyarakat sains. Falsifikasi terhadap suatu paradigma akan menyebabkan suatu teori yang telah mapan ditolak karenahasilnya negative. Teori yang baru yang memenangkan kompetisi akan
menggalami verifikasi. Proses verifikasi-falsifikasi memilki kebaikan yang dengan kebenaran dan memungkinkan adanya penjelasan tentang kesesuaian atau ketidaksesuaian antara fakta dan teori.
2. Konfirmasi
Fungsi Ilmu adalah untuk menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi absolute dengan menggunakan landasan : asumsi, postulat atau axioma yang sudah dipastikan benar. Pemaknaan juga dapat ditampilkan sebagai konfirmasi probabilisti dengan menggunakan metode induktif, deduktif, reflektif. Dalam Ontologi dikenal pembuktian apriori dan a posteriori.
Untuk memastikan kebenaran penjelasan atau kebenaran prediksi para ahli mendasarkan pada dua aspek yaitu Aspek kuantitatif dan aspek kualitatif.
Dalam hal konfirmasi, sampai saat ini dikenal ada tiga teori konfirmasi, yaitu :
- Decision Theory,
Teori ini menerapkan kepastian berdasar keputusan apakah hubungan antara
hipotesis dengan evidensi memang memiliki manfaat aktual - Estimation Theory
Menetapkan kepastian dengan memberi peluang benar – salah dengan menggunakan konsep probabilitas.
- Reliability Analysis
Menetapkan kepastian dengan mencermati stabilitas evidensi (yang mungkin berubah-ubah karena kondisi atau karena hal lain) terhadap hipotesis
3. Logika Inferensi
Studi logika adalah studi tentang tipe-tipe tata piker. Pada mulanya logika dibangun oleh Aristoteles (384-322 SM) dengan mengetengahkan tiga prinsip atau hukum pemikiran, yaitu :
- Principium Identitatis (Qanun Dzatiyah)
- Principium Countradictionis (Qanun Ghairiyah)
- Principium Exclutii Tetii (Qanun Imtina)
Logika ini sering juga disebut dengan logika Inferensia karena kontribusi utama logika Aristoteles tersebut adalah untuk membuat dan menguji inferensi. Dalam perkembangan selanjutnya logika Aristoteles juga sering disebut logika tradisional.
Logika inferensi yang berpengaruh lama sampai perempat akhir abad XX adalah logika matematika, yang menguasai positivisme. Positivistik menampilkan kebenaran korespondensi antara fakta. Fenomenologi Russel menampilkan korespondensi antara yang dipercaya dengan fakta. Belief pada Russel memangg memuat moral, tetapi masih bersifat spesifik, belum ada skema moral yang jelas, tidak general sehingga penelitian berupa kesimpulan kasus atau kesimpulan ideografik.